Jumat, 30 November 2012

UU ITE



UU ITE Pro dan Kontra


Kini, setiap orang dituntut kewaspadaan dan kehati-hatiannya dalam menggunakan internet. Pasalnya, Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) yang lama ditunggu tunggu pengesahannya, akhirnya resmi menjadi sebuah Undang-undang.
Kemunculannya memicu pro dan kontra. Banyak pihak menganggap Undang-undang itu mengurusi hal-hal yang tidak perlu diatur, namun malah tidak mengatur hal yang seharusnya diatur.  Padahal, Menteri Komunikasi dan Informatika, Mohammad Nuh optimis, dengan disahkannya UU ITE maka semua transaksi elektronik memiliki landasan hukum. “Ini maknanya, sebagai bangsa kita telah sejajar dengan masyarakat dunia di dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat modern dalam melakukan transaksi elektronik,” ujarnya.
Salah satu contoh yang memicu perdebatan adalah soal pengaturan penomoran nama domain yang dinilai seharusnya tak perlu sampai dimasukkan ke RUU tersebut. “Jenis-jenis kejahatan baru cybercrime tidak diatur secara lengkap,” kata Mas Wigrantoro, Ketua Mastel saat mengomentari hal ini.
Dengan keluarnya Undang-undang ITE, kitapun harus berhati-hati dalam menulis di internet, termasuk lewat blog atau milis. Jika isi tulisan dianggap menyinggung seseorang dan orang itu kemudian merasa nama baiknya dicemarkan, maka si penulis bisa diseret ke pengadilan.
Andapun harus berani dituntut Rp. 1 Miliar jika ketahuan menyebar konten porno. Tuntutan ini sesuai dengan Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang. Tepatnya, Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Bagi Anda sendiri, apakah gerak-gerik Anda di internet merasa terbatas dengan kehadiran UU ITE ini? Sebenarnya jika pun sebuah undang-undang belum sempurna benar, kita tetap harus mempunyai etika dan aturan yang membatasi diri kita sendiri dalam kehidupan nyata maupun maya. Selebihnya, kita memang harus terus berupaya agar peraturan yang ditetapkan cukup adil bagi semua pihak.
Sumber : http://www.biskom.web.id/2008/05/14/uu-ite-pro-dan-kontra.bwi

Pelanggaran HKI



Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual
HKI pada hakekatnya sama halnya dengan hak kekayaan kebendaan lainnya yaitu memberikan hak kepada para pencipta atau pemiliknya untuk mendapatkan keuntungan dari investasi dari karya intelektualnya di bidang kekayaan industri dan karya cipta yang disebut Hak Cipta.
Kasus pelanggaran HKI di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Akibat pelanggaran HKI tersebut, bukan hanya negara yang dirugikan dan mengancam arus investasi, tetapi Indonesia juga bisa terancam terkena embargo atas produk ekspornya. Perkembangan teknologi, terutama perkembangan teknologi digital, dianggap mendukung tumbuh suburnya pelanggaran HKI.
Kemajuan teknologi digital selain memberikan dampak positif berupa tersedianya media untuk karya cipta yang baik dan modern, juga memiliki  dampak negatif seperti terjadinya penyalahgunaan teknologi digital itu oleh pihak-pihak tertentu dengan melakukan praktek-praktek yang bertentangan dengan hukum.
Pelanggaran HKI menjadi mudah karena kemajuan teknologi digital, walaupun akibatnya HKI di sektor teknologi pun menjadi korban pertama pelanggaran tersebut. Dengan menggunakan komputer, pelanggaran-pelanggaran HKI semakin mudah. Komputer yang mampu menggandakan dan mencetak ditambah dengan kemampuan intenet dalam menyajikan informasi menyebabkan praktek penggandaan menjadi semakin mudah dilakukan.
Tidak ada jalan lain untuk mengatasi hal itu selain dengan menegakkan fungsi hukum. Sanksi terhadap pelanggaran HKI selama ini belum menimbulkan efek jera bagi pelakunya sehingga tingkat pelanggarannya terus meningkat, meskipun pemerintah sudah memiliki perangkat undang-undangnya.
Kendala lainnya yaitu terbatasnya aparat penegak hukum yang menangani masalah HKI, dan ringannya putusan yang dijatuhkan oleh proses peradilan kepada pelanggar, sehingga tidak menimbulkan efek jera tadi. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk menghargai dan mentaati hukum di bidang HKI dan terbatasnya daya beli masyarakat juga menyebabkan masalah-masalah pelanggaran HKI. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi antar aparat penegak hukum dan instansi terkait dalam merumuskan serta menetapkan kebijakan strategis yang akan dijadikan target untuk menurunkan dan menghilangkan pelanggaran HKI, serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menghargai HKI orang lain.
Berkurang atau hilangnya pelanggaran HKI di Indonesia, pada gilirannya dapat menarik para investor khususnya investor dari luar negeri untuk menanamkan atau membuka usaha di Indonesia baik di bidang Hak Cipta maupun di bidang HKI, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru yang dalam skala makro yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Telematika



Kejahatan Telematika Sebagai Kejahatan Transnasional 2


Berikut di bawah ini dijelaskan adanya masalah yang timbul pada kejahatan yang dilakukan di yuridiksi yang berbeda.
Permasalahan yurisdiksi ini kemudian timbul ketika masing – masing negara mengklaim memiliki ketentuan yurisdiksi tersendiri dalam menangani kejahatan telematika. Beberapa prinsip yang mendasari klaim tersebut adalah.
Prinsip Territorial Claims
Pada prinsip teritorial klaim ini negara-negara memiliki ketentuan hukumnyaberdasarkan :
1.       Lokasi dimana kejahatan telematika dilakukan
Dalam Konvensi Cyber Crime pada Pasal 2 sampai Pasal 11 menyatakan, bahwa setiappeserta konvensi berhak menetapkan yursidiksinya terhadap setiap kejahatantelematika yang dilakukan didalam wilayah teritorialnya. Contohnya, apabila X seseorang dari Jerman mengirim virus melalui E-Mail kepada Y seseorang yang beradadi Indonesia, kemudian Y menyebarkan virus tersebut di Indonesia, maka X dapatdikenai pidana berdasarkan hukum Jerman. Hanya saja ketentuan ini akan sulitdibuktikan terutama apabila tidak adanya klaim dari pihak yang dirugikan.
2.       Lokasi dimana komputer sebagai alat kejahatan berada pada hukum telematika Singapura terdapat ketentuan mengenai apabila computer sebagai media kejahatan telematika berada didalam yurisdiksi Singapura, maka pemerintah Singapura memiliki kewenangan untuk menangkap dan mengadili pelakunya, meskipun pelakunya adalah bukan warga negara Singapura. Mengingat bahwa akibat dari kejahatan tersebut bisa berdampak baik pada warga Singapura ataupun diluar Singapura. Contohnya kasus Danny, seorang pelajar Indonesia yang diadilidi Singapura karena melakukan hacking  pada beberapa situs baik situs Singapura atausitus dari luar singapura, akan tetapi tindakannya dilakukan di Singapura.
3.       Lokasi Korban Kejahatan Telematika 
Lokasi korban kejahatan telematika ini menjadi hal yang krusial yang ada pada yurisdiksi kejahatan telematika. Pada kejahatan Child Phornography, Negara A bisa mengklaim untuk menghukum pelaku child phornography, meski pelaku adalah warganegara B, apabila terbukti bahwa korban adalah anak-anak di negara A.

Prinsip Personality Claims
Setelah prinsip teritorial klaims, personality Claims merupakan prinsip berikutnya dalam yurisdiksi kejahatan telematika. Dalam Konvensi Cyber Crime, diatur mengenai personality claim bagi pelakukejahatan telematika. Pasal 22 Konvensi mengatur bahwa “The Cybercrime Convention requires parties to establish jurisdiction “when the offence is committed (. . .) by one of its nationals, if the offence is punishable under criminal law where it was committed or if the offence is committedoutside the territorial jurisdiction of any State.” Hanya saja di masing-masing Negara pesertaKonvensi Cyber Crime memiliki interpretasi yang berbeda. Jerman memiliki ketentuan mengenai pemidanaan bagi warga Negara Jerman yang melakukan kejahatan telematika diluar wilayah Jerman, apabila tindakan tersebut juga dianggap sebagai kejahatan telematika oleh hukum negara dimana kejahatan tersebut dilakukan.
Contohnya, tindakan spy menggunakan keylogger  di wilayah hukum Jerman adalah kejahatan telematika, akan tetapi Gaul seorang warga Negara Jerman melakukan tindakan tersebut di wilayah Fiji, yangnotabene tidak mengatur bahwa tindakan Spy adalah kejahatan, sehingga Gaul tidak dapat dipidana. Akan tetapi, ketika seorang warga Jerman melakukan akses tanpa ijin pada system computer di Amerika, kemudian orang tersebut kembali ke Jerman, maka pemerintah Jerman dapat menangkap dan mengadili orang tersebut karena melakukan kejahatan telematika dan melanggar hukum federal tentang cybercrime di Amerika.Selain itu yurisdiksi kejahatan telematika mengenal personality claim dari sisikorban. Di Amerika, ketentuan hukum federal Amerika mengenai cyber crime yang diaturpada U.S. Code no. 1030 mengatur mengenai yurisdiksi untuk mengadili bagi siapa saja yang melakukan sabotase pada system computer milik pemerintah Amerika. Meskipunkejahatan tersebut dilakukan diluar wilayah Amerika. Hal ini serupa dengan ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu “Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.” Hanya permasalahannya selalu terbentur pada masalah extradisi, karena tidak semua Negaramemiliki perjanjian ekstradisi yang berlaku bagi pelaku kejahatan telematika.
Prinsip Perlindungan
Konsep ini dapat diterapkan oleh setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap kejahatan yang menyangkut keamanan dan integritas atau kepentingan ekonominya. Prinsip ini dapat diterapkan terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar wilayahnya tetapi diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas dan kemerdekaan negara tersebut. Contohnya, pada tahun 2004 seorang Hacker Amerika memainkan “wargames” dan menyelundup kedalam sistem keamanan nasional Inggris. Sistem keamanan Inggris ini digunakan untuk memeras pemerintah Inggris. Sehingga Pemerintah Inggris menuntut hacker tersebut untuk diekstradisi dan diadili diInggris, akan tetapi pihak Amerika mengklaim bahwa Pemerintah Amerika yang berhak untuk menerapkan yurisdiksinya.
Prinsip Universal
Untuk beberapa kejahatan telematika tertentu seperti kejahatan child phornography, perdagangan anak dan perempuan lewat internet, terorisme (contohnya transfer dana untuk kegiatan terorisme melalui elektronik perbankan) dan jual beli narkotika melalui internet, maka banyak negara yang mengklaim kejahatan tersebut dapat dipidana dinegaranya berdasarkan prinsip universal. Dari paparan di atas, hal yang timbul menjadi pertanyaan adalah bagaimana negara – negara di dunia menangani kejahatan telematika yang bersifat transnasional.
Langkah-langkah yang dapat diambil adalah :
1.   Adanya persamaan persepsi dari negara – negara  mengenai bentuk kejahatan telematika apa saja yang dianggap sebagai kejahatan telematika yang bersifat transnasional.
2.     Adanya kerjasama antar negara berkaitan dengan alih teknologi dalam usaha melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan telematika
3.     Adanya kesamaan persepsi mengenai digital evidence pada hokum nasional setiap negara
4.   Membentuk perjanjian internasional atau regional mengenai kejahatan telematika. Saat ini hanya Eropa yang memiliki Konvensi mengenai Cyber Crime, akan tetapi tidak menutup kemungkinan negara lain dapat meratifikasi konvensi tersebut.
5.  Adanya perjanjian ekstradisi bagi pelaku kejahatan telematika atau setidaknya kerjasama Mutual Legal Assistance
Tujuan dari paparan tersebut diatas adalah untuk menginformasikan bahwa, saat ini kejahatan telematika telah menjadi masalah tidak hanya bagi satu Negara tapi hamper seluruh negara, karena sifatnya yang transnasional. Seyogyanya tidak ada satu negara pun yang bisa menjadi tempat perlindungan bagi siapa pun pelaku kejahatan telematika, termasuk Indonesia. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2008mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik, maka kita berharap agar Indonesia tidak lagi menjadi ‚’safe heaven’ bagi pelaku kejahatan telematika. Hal ini juga harus didukung oleh peningkatan pengetahuan atas teknologi informasi dan komunikasi baik dari para aparat penegak hukum misalnya polisi, hakim dan jaksa, juga adanya sosialisasi terhadap masyarakat berkaitan dengan kejahatan telematika itu sendiri.

News




Mengakses media sosial ketika sedang jomblo sah-sah saja. Namun ada beberapa pantangan yang harus dihindari sebab memiliki resiko tertentu. Berikut 7 larangan yang tak boleh dilakukan di media sosial tatkala jomblo.
1. Tulis status tiap menit
Aktivitas ini bakal menambah Anda semakin tak menarik. Teman-teman di media sosial bisa menjadi bosan akibat ulah Anda ini. Bisa saja Anda dianggap sosok yang mencari-cari perhatian.
2. Galau
Galau memang wajar, namun jangan dilakukan secara berlebih di media sosial. Daripada diungkapkan ke social media lebih baik Anda share ke teman terdekat.
3. Emosi
Serupa dengan galau, konten lainnya yang sering dipublikasikan di media sosial adalah emosi atau amarah. Konten ini muncul umumnya tatkala baru saja menyandang status jomblo.
4. Mengintai
Mengintip atau stalking sah-sah saja. Namun jangan dilakukan secara berlebih. Dan yang paling penting jangan sampai sang mantan tahu jika Anda sering menguntitnya di media sosial.
5. Foto lebay
Memasang foto narsis dengan tampang cemberut atau sedih di Facebook atau Twitter justru tak bakal membuat teman-teman Anda simpatik. Mereka bisa saja menganggap Anda lebay.
6. Foto mantan
Stalking boleh saja. Namun bila sampai mengunggah foto mantan di media sosial, mungkin malah membuat dirinya justru tak nyaman. Bisa saja muncul rasa bersalah dalam dirinya.
7. Foto baju pengantin
Jika Anda kerap memosting foto baju pengantin di media sosial, bisa diartikan jika Anda saat ini sangat ingin menikah. Ironis bukan, padahal saat ini Anda sedang jomblo.

Sejarah telematika



Sejarah Telematika


Istilah telematika pertama kali digunakan pada tahun 1978 oleh Simon Nora dan Alain Minc dalam bukunya L'informatisation de la Societe. Istilah telematika yang berasal dari kata dalam bahasa Perancis telematique merupakan gabungan dua kata: telekomunikasi dan informatika.

Telekomunikasi sendiri mempunyai pengertian sebagai teknik pengiriman pesan, dari suatu tempat ke tempat lain, dan biasanya berlangsung secara dua arah. 'Telekomunikasi' mencakup semua bentuk komunikasi jarak jauh, termasuk radio, telegraf/ telex, televisi, telepon, fax, dan komunikasi data melalui jaringan komputer. Sedangkan pengertian Informatika (Inggris: Informatics) mencakup struktur, sifat, dan interaksi dari beberapa sistem yang dipakai untuk mengumpulkan data, memproses dan menyimpan hasil pemrosesan data, serta menampilkannya dalam bentuk informasi.

Jadi pengertian Telematika sendiri lebih mengacu kepada industri yang berhubungan dengan penggunakan komputer dalam sistem telekomunikasi. Yang termasuk dalam telematika ini adalah layanan dial up ke Internet maupun semua jenis jaringan yang didasarkan pada sistem telekomunikasi untuk mengirimkan data. Internet sendiri merupakan salah satu contoh telematika.

Menurut Wikipedia, istilah telematika ini sering dipakai untuk beberapa macam bidang, sebagai contoh adalah:
  • Integrasi antara sistem telekomunikasi dan informatika yang dikenal sebagai Teknologi Komunikasi dan Informatika atau ICT (Information and Communications Technology). Secara lebih spesifik, ICT merupakan ilmu yang berkaitan dengan pengiriman, penerimaan dan penyimpanan informasi dengan menggunakan peralatan telekomunikasi.
  • Secara umum, istilah telematika dipakai juga untuk teknologi Sistem Navigasi/Penempatan Global atau GPS (Global Positioning System) sebagai bagian integral dari komputer dan teknologi komunikasi berpindah (mobile communication technology).
  • Secara lebih spesifik, istilah telematika dipakai untuk bidang kendaraan dan lalulintas (road vehicles dan vehicle telematics)

Di Indonesia, pengaturan dan pelaksanaan mengenai berbagai bidang usaha yang bergerak di sektor telematika diatur oleh Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika. Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika (disingkat DitJen APTEL) adalah unsur pelaksana tugas dan fungsi Departemen di bidang Aplikasi Telematika yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Komunikasi dan Informatika RepublikIndonesia.



Fungsi Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika (disingkat DitJen APTEL) meliputi:
  • Penyiapan perumusan kebijakan di bidang e-government, e-business, perangkat lunak dan konten, pemberdayaan telematika serta standardisasi dan audit aplikasi telematika;
  • Pelaksanaan kebijakan di bidang e-government, e-business, perangkat lunak dan konten, pemberdayaan telematika serta standardisasi dan audit aplikasi telematika;
  • Perumusan dan pelaksanaan kebijakan kelembagaan internasional di bidang e-government, e-business, perangkat lunak dan konten, pemberdayaan telematika serta standardisasi dan audit aplikasi telematika;
  • Penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang e-government, e-business, perangkat lunak dan konten, pemberdayaan telematika serta standardisasi dan audit aplikasi telematika;
  • Pembangunan, pengelolaan dan pengembangan infrastruktur dan manajemen aplikasi sistem informasi pemerintahan pusat dan daerah;
  • Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi;
  • Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika.